Asal-Usul Tarekat Qodiriyah wan Naqsabandiyah (Bagian III)
C. PENGARUH TAREKAT QADIRIYAH WA NAQSYABANDIYAH DI BANTEN DAN SEKITARNYA
Dilihat dari perkembangan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah mulai dari berdirinya, terlihat bahwa tarekat ini mempunyai pengaruh yang cukup besar di Banten. Banten pada abad ke-19, keanggotaan dalam tarekat justru memberikan prestise bagi seseorang. Para kyai dan haji, sebagai guru tarekat, sangat disegani dan dihormati oleh penduduk desa. Begitu besar pengaruh organisasi tarekat di dunia Islam, sehingga H.R. Gibb yang dikutip oleh H. Puad mengatakan, bahwa sesudah direbutnya khalifah Mongol tahun 1258 maka tugas untuk memelihara kesatuan masyarakat Islam beralih ke tangan kaum sufi.
Begitu pula halnya di Banten, salah seorang pemuka tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, K.H. Abdul Karim, memiliki pengaruh yang luar biasa di kalangan masyarakat Banten. Sebelum tarekat ini didirikan, para kyai di Banten bekerja tanpa ikatan apa-pun satu sama lainnya. Tiap kyai menyelenggarakan pesantrennya sendiri, dengan caranya sendiri, dan bersaing dengan kyai-kyai lain untuk mendapatkan nama sebagai ulama yang pandai, dukun yang ampuh.(33)
Dengan kedatangan tarekat ini di Banten pada awal tahun tujuh-puluhan, Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, memperoleh momentum. Di bawah pengaruhnya, tarekat itu semakin berakar dikalangan para kyai dan mempersatukan mereka. Pada waktu yang bersamaan, pengaruh para kyai atas pengikut-pengikut mereka bertambah besar.(34)
Haji Abdul Karim merupakan ulama besar dan orang suci di mata rakyat. Ia adalah seorang pemimpin agama pada umumnya dan sebagai guru Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah pada khususnya. Sejak masa mudanya ia mendalami ajaran-ajaran Khatib Sambas, dan kemudian menjadi seorang ulama besar yang sangat terkenal. Karena sifat-sifatnya yang luar biasa, ia dianggap cocok untuk berdakwah bagi Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Tugas pertama yang diberikan kepadanya adalah sebagai guru tarekat di Singapura,(35) dan tugas itu ia lakukan selama beberapa tahun. Pada tahun 1872 ia kembali ke desa asalnya, Lampuyang-Banten, dan tinggal disana selama kurang lebih tiga tahun.(36)
)Haji Abdul Karim dipercaya bahwa, dia adalah seorang wali Allah yang telah dilimpahkan barakat, dan karenanya mempunyai kekuatan untuk mengirimkam keramat atau limpahan-limpahan mukjizat. Di masa belakangan, dia menjadi terkenal dengan sebutan kyai Agung.
Karena pengaruhnya yang sangat kuat itu, daerah Banten dalam waktu singkat diwarnai oleh kehidupan keagamaan yang luar biasa aktifnya. Di samping itu, kedudukan dan popularitasnya sebagai wali dan kyai agung menumbuhkan kesetiaan rakyat Banten. Kebetulan pada masa itu telah berkembang kuat rasa ketidak-puasaan rakyat kepada Belanda sebagai akibat tindakan politik dan ekonomi Belanda yang tidak menguntungkan rakyat Banten. Dalam situasi ketegangan semacam ini, para ulama di Banten secara bertahap membangun semangat rakyat untuk melawan pemerintah Belanda.(37)
Sebagai pemimpin tarekat yang semakin berkembang. K.H. Abdul Karim juga mendirikan sebuah pesantren di Banten, yang sekaligus dijadikan sebagai pusat penyebaran Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, serta membuka pengajian di Tanara, Tirtayasa, Serang. Selain itu, H. Abdul Karim juga berhasil mempersatukan para ulama dan pesantren-pesantren dan berhasil mengobarkan semangat anti penjajahan. Dalam waktu yang relatif singkat ia sudah mempunyai murid-murid yang sangat setia, mengabdi dan patuh padanya. Sulit untuk memperkirakan jumlah pengikutnya: bagaimanapun, ia dengan cepat tampil sebagai tokoh yang dominan di kalangan elit agama.
Tidak saja prestise dan pengaruhnya yang bertambah besar. Selain itu, ia juga mengunjungi daerah-daerah di Banten sambil tak henti-hentinya mempropagandakan tarekatnya. Di samping masa rakyat yang antusias yang dengan mudah ia pengaruhi, ia juga berhasil meyakinkan banyak pejabat pamong-praja untuk mendukung misinya. Sejumlah tokoh terkemuka, seperti Bupati Serang, penghulu kepala di Serang dan seorang pensiunan Patih, Haji R.A. Prawiranegara, adalah sahabat-sahabatnya dan mereka sangat terkesan oleh ide-idenya. Ia benar-benar merupakan orang yang paling dihormati oleh rakyat dan seluruh masyarakat di daerah Banten, sehingga pemerintah merasa takut kepadanya.(38)
Kepopulerannya yang terus meningkat, murid-muridnya dengan tidak sabar menantikan seruannya untuk memberontak, rakyat seolah-olah dilanda rasa rindu dan ingin bertemu. Seperti digambarkan oleh Snouck Hurgronje:
“. . . setiap malam beratus-ratus orang yang ingin diselamatkan, berduyun-duyun ketempat tinggalnya, untuk belajar zikir darinya, untuk mencium tangannya dan untuk menanyakan apakah saatnya sudah hampir tiba, dan untuk berapa lama lagi pemerintah kafir masih akan berkuasa?”(39)
Belanda menganggap Syeikh Abdul Karim sangat berpengaruh dalam pemberontakan rakyat Banten melawan Belanda tahun 1888, sekalipun dia tidak secara langsung terlibat di dalamnya. Dia meninggalkan Banten pada tanggal 13 Februari 1876 dan dia tinggal di Mekkah ketika perang meletus. Sartono memberikan catatan yang menarik tentang pengaruh ajaran-ajaran dan dakwahnya atas populasi massa. Dia menulis:
“Dalam pada itu, wejangan-wejangan, janji-janji, dan ramalan-ramalan Haji Abdul Karim membuat rakyat bersemangat. Jelas bahwa prediksi-prediksinya tentang ‘Hari Kiamat’, kedatangan Mahdi, dan Jihad, memunculkan reaksi fermentasi keagamaan secara umum; semangat jihad digerakkan dengan kesadaran yang hidup bahwa Negara mereka merupakan dar al-Islam, yang saat itu dikuasai pemerintah asing, dan bahwa suatu hari ia harus ditaklukan kembali. Tujuan pokok Kyai Agung adalah pendirian negara Islam”.(40)
Dengan memasuki tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, maka kesetiaan para santri kepada kyai, dan persaudaraan di kalangan para santri menjadi kokoh. Selain itu, ilmu dan kesaktian para kyai memperkuat karismanya di mata santri-santrinya.(41)
Satu hal yang mencolok adalah, bahwa para kyai pada umumnya sangat dicintai dan dihormati oleh rakyat, yang menganggap mereka sebagai lambang kejujuran dan keluhuran budi. Mereka menerima sumbangan-sumbangan, dan dengan mudah dapat mengerahkan penduduk desa. Kesetiaan ini, yang dalam pandangan petani-petani muslim sudah sewajarnya mereka berikan kepada pemimpin agama mereka, lebih diperkokoh lagi oleh keanggotaan mereka dalam tarekat.
Dari keterangan di atas, terlihat begitu besar pengaruh Syeikh Abdul Karim bagi masyarakat petani di Banten pada saat itu, sehingga dengan seketika, tarekat mampu menggerakkan masa rakyat. Kondisi seperti itu jelas dilatar belakangi oleh adanya ketidak puasaan rakyat dalam berbagai aspek kehidupan di pedesaan. Pada saat seperti itu, mereka membutuhkan seorang figur pemimpin, dengan harapan akan mampu mengembalikan keutuhan desa, tanpa ada gangguan dan pungutan apa-pun yang sangat merugikan masyarakat Banten.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar